Bullying dan Intoleransi di Sekolah Kian Memprihatinkan, Siapa Bertanggung Jawab?

Dampak yang Tidak Sepele

Bullying dan intoleransi dapat menyebabkan trauma psikologis, depresi, hingga bunuh diri. Anak menjadi minder, murung, enggan bersekolah, dan prestasinya menurun.

Kasus di Indragiri, Riau, memperlihatkan sisi paling kelam: seorang siswa SD berusia 8 tahun meninggal dunia akibat perundungan teman-temannya hanya karena berbeda agama (Setara Institute, 2024).

Ketika Regulasi Tak Cukup

Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 yang mewajibkan pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (TPPKSP).

Namun, implementasinya masih jauh dari ideal. Banyak sekolah sekadar membentuk tim di atas kertas tanpa menjalankan fungsinya secara nyata. Akibatnya, program pencegahan kekerasan masih sebatas formalitas administratif.

Analisis Teori: Bandura dan Olweus

Menurut Olweus (1993), terdapat tiga aktor dalam bullying: pelaku (bullies), korban (victims), dan penonton (bystanders). Pencegahan harus melibatkan semua unsur ini agar budaya diam terhadap kekerasan bisa dihapus.

Sementara Albert Bandura dalam teori Belajar Sosial menegaskan bahwa perilaku agresif, termasuk bullying, dipelajari melalui observasi dan modeling.

Anak-anak yang sering melihat kekerasan—baik di rumah, sekolah, atau media digital—berpotensi meniru perilaku itu.

Jika pelaku mendapat “penguatan positif” seperti tawa teman atau status sosial, maka perilakunya semakin mengakar.

Artinya, lingkungan sosial adalah kunci. Anak akan belajar dari contoh yang ia lihat, bukan dari nasihat yang ia dengar.

Solusi: Membangun Sekolah yang Aman dan Inklusif

1. Aktifkan TPPKSP secara nyata. Tidak hanya sebagai SK formal, tapi bekerja dengan strategi, pelatihan, dan evaluasi.

2. Libatkan siswa sebagai agen perubahan. Bentuk peer educator dan peer watch agar mereka saling menjaga dan berani melapor.

3. Integrasikan edukasi anti-bullying dalam kurikulum. Misalnya melalui proyek profil pelajar Pancasila yang menanamkan empati dan toleransi.

4. Peran orang tua harus sejalan dengan sekolah. Konsistensi perilaku positif di rumah akan memperkuat karakter anak.

5. Media dan masyarakat harus berhenti menormalisasi kekerasan verbal. Setiap ejekan bukan sekadar “candaan”, tapi bisa menjadi bibit kebencian sosial.

Penutup

Bullying dan intoleransi bukan persoalan sepele. Ia adalah cermin kegagalan kita menciptakan lingkungan belajar yang manusiawi.

Sekolah harus kembali menjadi tempat yang aman, bukan sumber trauma.

Perubahan hanya mungkin terjadi bila semua pihak—guru, siswa, orang tua, masyarakat, dan media—bergerak bersama membangun budaya baru: budaya tanpa kekerasan dan tanpa intoleransi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *