Oleh: Tsaniatus Solihah (Mahasiswa Magister Psikologi UNIKA Soegijapranata)
KASUS bullying dan intoleransi di Indonesia semakin hari semakin mengkhawatirkan. Lingkungan yang seharusnya menjadi ruang aman bagi anak—terutama sekolah—justru sering berubah menjadi tempat penuh tekanan dan kekerasan verbal maupun fisik. Fenomena ini bukan hanya terjadi di tingkat sekolah menengah, tetapi juga di PAUD, SD, SMP, hingga SMA, bahkan melibatkan guru dan kepala sekolah sebagai pelaku.
Sekolah Tak Lagi Aman bagi Anak
Kasus terbaru yang dilaporkan DetikSumut terjadi di Deli Serdang, Sumatera Utara. Seorang guru PAUD mengejek muridnya yang menangis dengan kata-kata, “Sini mami sayang,” dan kemudian menertawakannya. Sang anak balas menangis sambil berkata, “Kamu bukan mami, mamiku gemuk,” yang justru memancing tawa guru tersebut. Ironisnya, pelaku adalah pendidik yang seharusnya menjadi pelindung anak.
Kasus lain muncul di Surabaya, di mana seorang siswa kelas 4 SD dibully hingga kacamata korban pecah. Meski telah dimediasi, aksi serupa berulang hingga korban trauma dan enggan kembali ke sekolah (Kompas.com).
Di jenjang SMP, sebagaimana diberitakan MetroTV News, seorang remaja bahkan menjadi pelaku pembunuhan akibat dendam karena terus-menerus dibully sejak SD. Ia menusuk temannya dengan gunting saat jam istirahat.
Lebih parah, di Sulawesi Tenggara, Sindosultra melaporkan kasus bullying oleh Plt Kepala SMAN 1 Wadaga yang berulang kali mengucapkan kata-kata kasar pada siswanya.
Kasus-kasus ini membuktikan bahwa kekerasan dan perundungan di sekolah tidak mengenal jenjang usia maupun jabatan. Pelakunya bisa siswa, guru, bahkan kepala sekolah.
Data yang Tak Bisa Diabaikan
Menurut Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, terdapat 573 kasus kekerasan di satuan pendidikan pada 2024, meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 285 kasus.
Peningkatan ini menunjukkan bahwa bullying dan intoleransi belum menjadi prioritas penanganan serius di lingkungan pendidikan.
Bullying dan Intoleransi: Dua Wajah Kekerasan yang Saling Berkaitan
Mengutip Olweus (1993), bullying adalah tindakan negatif yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak yang lebih lemah secara berulang, dengan tujuan menyakiti atau merugikan.
Bentuknya bisa fisik (menampar, meludah, mendorong), verbal (menghina, mengejek), hingga psikologis (mempermalukan, mengancam, atau mengucilkan).
Bullying verbal yang menggunakan ras, agama, atau etnis menjadi pintu masuk perilaku intoleransi.
Menurut Kamaluddin et al. (2021), intoleransi adalah ketidakmampuan menerima perbedaan.
Setara Institute (2023) mencatat peningkatan pelajar intoleran aktif di tingkat SMA dari 2,4% pada 2016 menjadi 5% pada 2023.
Contohnya nyata. Di Semarang, masih sering terdengar panggilan seperti “Cino”, “Ambon”, “Item”, atau “Babi” kepada teman yang berbeda fisik atau etnis. Ironisnya, banyak guru dan orang tua menganggapnya “sekadar bercanda”. Padahal, candaan seperti itu bisa memupuk rasa rendah diri, trauma, bahkan kebencian sosial.